BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika islam diperkenalkan sebagai pola dasar, kaum
Muslimah telah dijanjikan oleh Al – Quran akan menjadi komunitas terbaik
dipanggung sejarah bagi sesama umat manusia lainnya. Akibatnya diterimanya
dorongan ajaran seperti ini , secara tidak langsung telah
memberikan produk pandangan bagi mereka sendiri untuk melakukan permainan
budaya sebaik mungkin.
Terdapat
banyak perspektif dalam membaca banyak fakta sejarah , terutama terhadap
sejarah peradaban umat Islam. Perbedaan cara pandang tersebut sebagai akibat
dari khazanah pengetahuan tentang sejarah yang berbeda. Hal itu dipicu dari
keberagaman teori sejarah. Lebih–lebih sejarah islam yang sebagian besar adalah
sejarah tentang polotik dan kekuasaan yang berujung pada kepentingan kelompok
maupun individual semata.
Banyak
terjadi kerancuan-kerancuan ketika pemerintahan sudah tidak berada dibawah
kendali Rasulullah. Dalam hal ini terdapat empat khalifah yg menggantikan Nabi
dalam memimpin Umat Islam dengan selalu berpegang pada al Qur’an dan Sunnah.
pada periode ini, masih mencerminkan pola- pola yang digagas dan dipraktekkan
oleh Rasululah dalam menata dan mengurusi umat Islam, terutama pada periode Abu
Bakar yang sepenuhnya hampir tidak
melakukan perubahan-perubahan kebijakan.
Adapun
format peradaban tampaknya lebih bnyak dilakukan oleh dua khalifah berikutnya
yaitu Umar bin Khathab dan Ustman bin Affan. Hal ini dikarenakan mereka
memerintah lebih lama dibandingkan dengan Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib,
sehingga fakta sejarah menunjukkan bahwa zaman al Khulafa’ur Rasyidin tersebut
termasuk kedalam zamann perkembangan Islam yang cemerlang yang ditandai dengan
ekspansi, integrasi, pertumbuhan, dan kemajuan yang menunjukkan perdaban
tersendiri dengan segala karakteristiknya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Khulafaur Rasyidin?
2. Bagaimana Problematika
dan realitas kepemimpinan Khalifah Abu Bakar?
3. Bagaimana kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab?
4. Bagaimana kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan?
5. Bagaimana kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib?
6. Bagaimana telaah dan
kritik kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradaban Muslim?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui arti Khulafaur Rasyidin
2. Mengetahui Problematika dan realitas
kepemimpinan Khalifah Abu Bakar
3. Mengetahui kepemimpinan
Khalifah Umar bin Khattab
4. Mengetahui kepemimpinan
Khalifah Utsman bin Affan
5. Mengetahui kepemimpinan
Khalifah Ali bin Abi Thalib
6. Mengetahui telaah dan kritik kontribusi khalifah
4 dalam tradisi dan peradaban Muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khulafaur Rasyidin
Menurut bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah)
merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang berarti : menggantikan atau
menempati tempatnya. Menurut istilah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin
umat islam setelah wafatnya nabi muhammad SAW(570–632). Kata
"Khalifah" sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti"
atau "perwakilan".[1][1] Dalam Al-Qur'an, manusia secara
umum merupakan khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi
beserta isinya. Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti
Nabi Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga
menggantikannya sebagai penguasa sebuah edentitas kedaulatan Islam (negara).
Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga
sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya. [2][2]
Adapun yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah para pemimpin
pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang adil,
bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu mendapat
petunjuk dari Alloh. Tugas Khulafaur Rasyidin
adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam mengatur kehidupan kaum
muslimin. Jika tugas Rosulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan
tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas menggantikan kepemimpinan
Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara atau kepala
pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun
tugas kerosulan tidak dapat digantikan oleh Khulafaur Rasyidin karena Rasulullah adalah Nabi dan Rosul yang
terakhir. Setelah Beliau tidak ada lagi
Nabi dan Rosul lagi.
Tugas
Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur kehidupan rakyatnya
agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa. Sedangkan
sebagai pemimpin agama Khulafaur
Rasyidin bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan masalah
keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka kholifah yang berhak
mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin dalam melaksanakan
tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga setiap kebijakan yang
diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin.
Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan sahabat
pasca Nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para
sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang terpilih, maka sahabat
yang lain memberikan baiat (sumpah setia)
pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah
ini , yaitu : pertama, secara musyawarah oleh para sahabat Nabi.
Kedua, berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya. [3][3] Sahabat Rosulullah yang termasuk Khulafaur Rasyidin adalah:
a) Abu Bakar As Shiddiq (11 – 13 H / 632 – 634 M)
b) Umar Bin Khattab (13 – 23 H / 634 – 644 M)
c) Utsman Bin Affan (24 – 36 H / 644 – 656 M)
B. Kepemimpinan Abu Bakar As Shiddiq
Abu Bakar As Shiddiq ( nama lengkapnya Abu Bakar
Abdullah bin Abi Quhafah bin Utsman bin
Amr bin Masud bin Thaim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr
At-Taimi Al-Quraisy. Berarti silsilanya dengan Nabi bertemu pada Murrah bin
Ka’ab. Abu Bakar dilhirkan pada tahun 573 M. Dia dilahirka dilingkungan suku
yang sangat berpengaruh dan suku yang banyak melahirkan tokoh-tkoh besar.
Ayahnya bernama Utsman (Abu Quhafah) bin
Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Laymbin Mun’ah bin Ka’ab bin Lu’ay,
berasal dari suku Quraisy,sedangkan ibunya bernama Ummu al Khair Salmah binti
Sahr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym bin Murrah.garis keturunannya bertemu pada
neneknya, yaitu Ka’ab bin Sa’ad. [5][5]
Abu Bakar
merupakan orang yang pertama kali masuk islam ketika islam mulai didakwakan.
Baginya tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW.
Dikarenakan sejak kecil, ia telah mengenal keagungan Muhammad. Setelah masuk islam, ia tidak segan
untuk menumpahkan segenap jiwa dan harta bendanya untuk Islam. Tercatat dalam
sejarah, dia pernah membela Nabi ketika Nabi disakiti oleh suku
Quraisy,menemani Rasul Hijrah, membantu kaum yang lemah dan memerdekakannya,
seperti terhadap Bilal , setia dalam peperangan dll. [6][6]
Tentang
pribadinya, Abu Bakar terkenal sebagai orang yang berakhlak mulia , jujur,
cerdas, cakap ,kuat kemauan dan pemberani serta beliau terkenal rendah hati ,
pemaaf dan dermawan.
Pada awal
perkembangan islam , orang laki-laki yang pertama yang masuk islam adalah Abu
Bakar. Hartanya banyak dikorbankan untuk kepentingan dakwah islam. Kesetiaan
Abu Bakar terhadap islam dan Rosulullah tidak diragukan lagi. Oleh karena itu ,
Rosulullah memilih Abu Bakar menjadi sahabat perjalanan hijrah ke Yastrib. [7][7] Selain itu ia juga pernah ditunjuk
Rosul sebagai penggantinya untuk mengimami shalat ketika Nabi sakit
a) Proses Pengangkatan Abu Bakar
sebagai Khalifah
Rosulullah
meninggal dunia pada tahun 11 H (632 M). [8][9] setelah sebagian penduduk Arabia masuk islam. Wafatnya Rosulullah
menghadirkan masyarakat islam kepada situasi kritis kepemimpinan.ketika
Rosulullah masi hidup tidak pernah menunjuk diantara sahabat yang
menggantikannya sebagai pemimpin umat islam. Bahkan tidak pula membentuk suatu
dewan yang dapat menentukan siapa penggantinya.
Setelah
Rosulullah wafat para sahabat terpencar- pencar. Pertama : Sahabat Nabi
dari kalangan Anshor telah bergabung dengan Sa’ad bin Ubadah diertemuan Saqifah
Bani Sa’idah. Kedua : Sahabat dari kalangan Muhajirin – Ali bi Abi
Tholib, Zubair bin Awwam dan Tolhah bin Ubaidillahtingal dirumah Siti Fatimah. Ketiga
: kalangan Muhajirin selain ketiga tokoh tersebut bergabung dengan Abu
Bakar.
Sahabat Nabi
dari kalangan Anshor yang telah berkumpul di Saqifah bani Sa’idah telah sepakat
untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah. Untk menjadi pemimpin umat islam tanpa
dihadiri oleh kaum Muhajirn. Tetapi dari suku Aus tidak memberi dukungan kepada
Sa’ad bin Ubadah. Abu Bakar dan Umar bin Khattab datang ke Saqifah Bani Sa’idah, kemudian berpidato
dihadapan sahabat Anshor yang sedang bermusyawarah dengan memberikan tawaran
berupa pembagan wewenang ( power sharing) agar umat islam tidak terpecah.
Akhirnya timbul ketegangan diantara para sahabat Anshor dan Abu Bakar. Setelah
ketegangan mulai mereda, Abu Bakar
menawarkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah (keduanya dari kalangan
Muhajirin) dan mempersilahkan dari kalangan Ansar unuk membaiat salah satu dai
mereka. Akan tetapi keduanya menolak dan berkata : “engkau (Abu Bakar) adalah
Muhajirin yang paling utama,engkau yang menemani Rasulullah saat di Gua Tsur,
dan menggntikan Rasulullah menjadi imam sholat ketika Rasulullah berhalangan.
Abu Bakar akhirnya diangkat menjadi khalifah setelah melalui musyawarah di Saqifah
Bani Sa’idah”. [9][10]
Sepak
terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami dari pidato Abu Bakar ketika
ia diangkat menjadi khalifah. Secara lengkap pidatonya sebagai berikut.
“ Wahai
manusia sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu kerjakan, padahal aku
bukan orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan
baik,bantulah aku, dan jika aku berbuat salah , luruskanlah aku. Kebenaran
adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu penghianatan. Orang
yanglemah diantara kamu adalah orang yang kuat bagi ku sampai aku memenuhi
hak-haknya, dan orang kuat diantara kamu adalah lemah bagi ku hingga aku
mengambil haknya, Insya Allah.janganlah salah seorang darimu meninggalkan
jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah akan
menimpakan suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rosul Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan RosulNya, sekali-kali jangan lah kamu menaanti ku .
Dirikanlah shalat , semoga Allah merahmati kamu” [10][11]
Ucapan pertama ketika di bai’at, ini menunjukkan garis besar politik dan
kebijakan abu bakar dalam pemerintahan. Di dalamnya terdapat prinsip kebebasan
berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, dan mendorong
masyarakat berijtihad, serta sholat sebagai intisari takwa.
Ø Problematika ketika kepemimpinan Abu Bakar As-shidiq:
1.Penyelesaian Kaum Riddat dan Nabi
Palsu
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
2. Timbulnya
kemunafikan dan kemurtadan hal ini disebabkan adanya an-ggapan bahwa setelah
Nabi Muhammad SAW. Wafat, maka segala perjanjian Nabi menjadi terputus. Adapun
orang murtad pada waktu itu ada dua: yatiu
a. Mereka yang menganggap Nabi dan pengikutnya, termasuk didalamnya orang yang meninggalakan sholat, zakat dan kembali mmelakukan kebiasaqan jahliah.
b. Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
a. Mereka yang menganggap Nabi dan pengikutnya, termasuk didalamnya orang yang meninggalakan sholat, zakat dan kembali mmelakukan kebiasaqan jahliah.
b. Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
3.Penyelesaian Kaum Riddat dan Nabi
Palsu
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Khalifah Abu bakar yang begitu singkat sangat disibukan dengan peperangan. Dalam pertepuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi dari dalam. Hal n terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap Negara islam di madinah dan meninggalkan islam setelah Rosulullah wafat.
Gerakan riddah bermula menjelan Nabi Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita beliau, maka gerakan berbelok agama itu meluas di wilayah bagian tengah, timur, selatan sampai Madinah dan Makkah, tempat itu sudah di kepung ketika Abu Bakar menjadi sebagi khalifah.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi,guna menyayangi Nabi Muhammad SAW, yaitu MusailamahThuia,Aswad Al-Insah. Para Nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati para orang islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minuman-minuman keras, berjudi. Mengurangi Sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Rhamadan di hapus, mengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi sukarela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Gerakan Nabi palsu itu berusaha mengusai dan mempengaruhi masyarakat islam dengan menggerakkan pasukan untuk masuk ke daerah-daerah dan mereka semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi, Kholifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan gerakan kaum riddah. Dengan sikap Kholifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan Al-liwa,(panji pasukan) kepada masing-masing pasukan. Untuk menumpas hal tersebut Ia membentuk sebelas pasukan masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh seperti Khalid bin Walid,Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Surabil bin Basanah. Dalam waktu singkat. Seluruh kekacauan dan pemberontakan. yang terjadi dalam Negeri dapat ditumpas dengan sukses.
Ø Realitas ketika kepemimpinan Abu Bakar As-shidiq:
1.Peristiwa
Tsaqifah Bani Sa’idah
Sejarah mengatakan bahwa, Rasulullah ketika wafat pada tahun 11 H, tidak meninggalkan wasiat orang yang akan menggatikannya. Oleh karena itu para sahib segerah bermusyawarah di suatu tempat yaitu tsaqifah bani saidah guna memili pengganti Rosulullah untuk memimpin umat islam. Dalam pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terja perpecahan di antara golongan, karena masing-masing golongan mengajukan colon pemimpimn dari golongannya sendiri-sendiri. Pihak dari ansor mencalonkan sa’ad bin Ubaidah, sedangkan pihak lain menghendaki Ali bin Abi Tholib sebagai penganti beliau. Peristiwa itu diketahui umar, kemudian ia pergi ke kediaman Nabi dan mengutus seorang untuk menemani Abu Bakar. Kemudian ia berangkat dan dalam perjalanan ia bertemu dengan Ubaidah bin Jarrah. Setibannya dibalai Bani Sa’ad, ia mendapat dua golongan besar kaum Anshar dan Muhajirin sedang bersitegang
2. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pergantian Abu Bakar sebagai kholifah sebagaimana dijelaskan pada peristiwa tsaqifah bani sayyidah, merupakan bukti bahwa kholifah menjadi kholifah bukan masa kehendaknya sendiri, tetapi hasil musyawarah mufakat ummat Islam. Maka mulailah beliau menjalankan kekholifahannya, baik sebagai pemimpin ummat maupun sebagai pemimipin pemerintahan
Adapun sistem politik islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral” jadi kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun sedemikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Karena sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakar dalam pemerintahannya, itu makin memperkuat persatuan itu . Karena rasa tangung jawab yang begitu tinggi dalam diri Abu Bakar juga, maka setipap tindakan yang akan dilakukanya ia musyawarahkan terlebih dulu dan beristikhoroh kapada Allah. Jika Allah telah memberikan pilihannya maka barulah Ia bertindak.
Sejarah mengatakan bahwa, Rasulullah ketika wafat pada tahun 11 H, tidak meninggalkan wasiat orang yang akan menggatikannya. Oleh karena itu para sahib segerah bermusyawarah di suatu tempat yaitu tsaqifah bani saidah guna memili pengganti Rosulullah untuk memimpin umat islam. Dalam pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terja perpecahan di antara golongan, karena masing-masing golongan mengajukan colon pemimpimn dari golongannya sendiri-sendiri. Pihak dari ansor mencalonkan sa’ad bin Ubaidah, sedangkan pihak lain menghendaki Ali bin Abi Tholib sebagai penganti beliau. Peristiwa itu diketahui umar, kemudian ia pergi ke kediaman Nabi dan mengutus seorang untuk menemani Abu Bakar. Kemudian ia berangkat dan dalam perjalanan ia bertemu dengan Ubaidah bin Jarrah. Setibannya dibalai Bani Sa’ad, ia mendapat dua golongan besar kaum Anshar dan Muhajirin sedang bersitegang
2. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pergantian Abu Bakar sebagai kholifah sebagaimana dijelaskan pada peristiwa tsaqifah bani sayyidah, merupakan bukti bahwa kholifah menjadi kholifah bukan masa kehendaknya sendiri, tetapi hasil musyawarah mufakat ummat Islam. Maka mulailah beliau menjalankan kekholifahannya, baik sebagai pemimpin ummat maupun sebagai pemimipin pemerintahan
Adapun sistem politik islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral” jadi kekuasaan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun sedemikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Karena sistem musyawarah yang dijalankan Abu Bakar dalam pemerintahannya, itu makin memperkuat persatuan itu . Karena rasa tangung jawab yang begitu tinggi dalam diri Abu Bakar juga, maka setipap tindakan yang akan dilakukanya ia musyawarahkan terlebih dulu dan beristikhoroh kapada Allah. Jika Allah telah memberikan pilihannya maka barulah Ia bertindak.
3. Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika Beliu masih hidup. Sebenarny dikalangan para sahabat termasuk Umar bin Khottob banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan kholifah ini. Alasan mereka, karena dalam negeri sendiri paada saat itu timbul gejala kemunafikaqn dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan islam dari dalam. Tapi Abu bakar tetap mengirim pasukaqn usamah un tuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan perintah Nabi SAW.
4. Amanat Baitul Mal
Para sahabat Nabi, beranggap bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengijingkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran pada sesuatu darinya. Yang berlawanan dengan apa yamg telah ditetapkan oleh syari;at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan baitul mal untuk mencapai tujuan pribadi.
Para sahabat Nabi, beranggap bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengijingkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran pada sesuatu darinya. Yang berlawanan dengan apa yamg telah ditetapkan oleh syari;at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan baitul mal untuk mencapai tujuan pribadi.
5. Kekuasaan Undang-Undang
Abu Bakar tdak pernah menempatkan diri beliau di atas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu dihadapkan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslimn maupun non Muslim.[11][12]
Abu Bakar tdak pernah menempatkan diri beliau di atas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu dihadapkan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslimn maupun non Muslim.[11][12]
C.KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB
1.Nasab Umar bin Khattab
Dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah
saw. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatmah. Perawakannya
tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya,
jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.
Beliau
dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari
suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua
didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.
Nasabnya
adalah .Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin
Qarth bin Razah bin 'Adiy bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada kakeknya Ka'ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8
kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah.
Rasulullah memberi beliau "kun-yah" Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena
Hafshah adalah anaknya yang paling tua dan memberi "laqab"
(julukan) Al Faruq.[12][13]
2. Kepemerintahan
Umar bin Khattab
Keislaman
beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam.
Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu
memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan,
merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid'ah.
Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan
as-Sunnah setelah Abu Bakar As Siddiq.
Kepemimpinan
Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar
setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya
kekuasaan islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir,
Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan
Kairo.
Dalam masa
kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah,
penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin
Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam
menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran
Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis
kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah
dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh
Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama
Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah
kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan
dengan sempurna.
Penyerangan
Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia
telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci
kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa
kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah
berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan
menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend, mereka secara
menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya
Umar bin Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah
terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin
Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan
bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika
Utara.
Selain
pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu
diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, ”Seandainya
ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh
penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin
Khattab lebih berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabatpun berpendapat
bahwa Umar bin Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau
menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk
mushaf, menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas
negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah
tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga
perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan,
memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi
peminum "khamr" (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak
mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang
lainnya.
Namun dengan
begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang
pemimpin yang zuhud lagi wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Dalam satu riwayat Qatadah berkata, ”Pada suatu hari Umar
bin Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannnya
dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang
khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk
menjamu orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, ”Umar bin Khattab berkata,
”Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka umar
merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.”
Beliaulah
yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang, Beliau berjanji tidak
akan makan minyak samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang
memakannya.[13][14]
Tidak
diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif,
bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela
keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat
kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering
terlambat salat Jum'at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya
mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan
dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya
terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh hari
Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia
wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan
pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Nabi
SAW. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair binl Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar
menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau
bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan
bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang
itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.
3.Wafatnya Umar bin Khattab
Pada hari
Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau ditikam ketika
sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah,
budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan
Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as
Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.
D. kepemimpinan Khalifah Utsman bin
Affan
1.Nasab
Utsman bin
Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada
sebuah keluarga dari suku Quraisy bani Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan
nasab Nabi Muhammad saw. pada generasi ke-5. Sebelum masuk islam ia dipanggil
degan sebutan Abu Amr. Ia begelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri Nabi
saw. (menjadi khalifah 644-655 M) adalah khalifah ke-3 dalam sejarah
Islam. Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik
menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya
oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih
pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk
meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar
menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih
Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair
bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
2. kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
Pemerintahan
Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan
Utsman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan
hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang
berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang
baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh
kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh
Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu
faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan
Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada
dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota
keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di
hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah
terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta
kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman
sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’,
meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus
banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun
jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di
Madinah.
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, kaum Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Ø Usaha-usaha
yang dilakukan:
·
Perluasan
Wilayah Islam
Seperti yang
telah dikemukakan diatas bahwasanya Utsman harus bekerja lebih keras lagi dalam
mempertahankan dan melanjutkan perjuangan panji Islam sebab berbagai ancaman
dan rintangan akan semakin berat untuknya mengingat pada masa sebelumnya telah
tersiar tanda-tanda adanya negeri yang pernah ditaklukkan oleh Islam hendak
berbalik memberontak padanya. Namun demikian, meski disana-sini banyak
kesulitan beliau sanggup meredakan dan menumpas segala pembangkangan mereka,
bahkan pada masa ini Islam berhasil tersebar hampir ke seluruh belahan dunia
mulai dari Anatolia, dan Asia kecil, Afganistan, Samarkand, Tashkent,
Turkmenistan, Khurasan dan Thabrani Timur hingga Timur Laut seperti Libya,
Aljazair, Tunisia, Maroko dan Ethiopia. Maka Islam lebih luas wilayahnya jika
dibandingkan dengan Imperium sebelumnya yakni Romawi dan Persia karena Islam
telah menguasai hampir sebagian besar daratan Asia dan Afrika.
·
Pembentukan Armada Laut Islam Pertama
Ide atau
gagasan untuk membuat sebuah armada laut Islam sebenarnya telah ada sejak masa
kekhalifahan Umar Ibn khattab namun beliau menolaknya lantaran khawatir akan
membebani kaum muslimin pada saat itu. Setelah kekhalifahan berpindah tangan
pada Utsman maka gagasan itu diangkat kembali kepermukaan dan berhasil menjadi
kesepakatan bahwa kaum muslimin memang harus ada yang mengarungi lautan meskipn
sang khalifah mengajukan syarat untuk tidak memaksa seorangpun kecuali dengan
sukarela. Berkat armada laut ini wilayah Islam bertambah luas setelah
menaklukkan pulau Cyprus meski harus melewati peperangan yang melelahkan.
·
Kodifikasi Al-Qur’an
Masa
penyusunan Al-qur’an memang telah ada pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan
Umar Bin Khaththab yang kemudian disimpan ditangan istri Nabi Hafsah binti
Umar. Berdasar pertimbangan bahwa banyak dari para penghafal Al-Qur’an yang
gugur usai peperangan Yamamah. Kini setelah Ustman memegang tonggak
kepemimpinan dan bertambah luas pula wilayah kekuasaan Islam maka banyak
ditemukan perbedaan lahjah dan bacaan terhadap Al-Qur’an. Inilah yang mendorong
beliau untuk menyusun kembali Al-Qur’an yang ada pada Hafsah dan
menyeragamkannya kedalam bahasa Quraisy agar tidak terjadi perselisihan antara
umat dikemudian hari. Seperti halnya kitab suci umat lain yang selalu berbeda
antar sekte yang satu dengan yang lainnya.
3.Akhir Masa Kepemimpinan Ustman Bin Affan
Satu dekade
pertama kepemimpinan Ustman adalah masa yang dipenuhi dengan prestasi penting
dan kesejahteraan ekonomi yang tiada duanya, terkecuali pada dua tahun terakhir
yang berbanding terbalik dengan sebelumnya kondisi serba sulit akibat
merebaknya fitnah dan kedengkian musuh-musuh Islam yang diarahkan padanya
sehingga beliau syahid dengan amat tragis pada jum’at sore 18 Dzulhijjah 35 H
ditangan pemberontak Islam.
E. kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib
HALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A. Profil Ali ibn Abi Thalib
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib
al-Hasyimi al-Qurasyi. Sewaktu lahir beliau bernama Haydar (al-Hayadarah) oleh
ibunya yang bernama Fatimah binti As’ad, namun kemudian diganti oleh ayahnya
yang bernama Abu Thalib ibn Abd Muththalib dengan nama Ali. Beliau juga gelar
Abu Thurab (Si Bapak debu-tanah) oleh nabi karena pernah dijumpai tidur diatas
tanah.
Saudara sepupu dan putra angkat nabi ini lahir di dalam Ka’bah pada 600 M.,
tahun 23 sebelum hijrah. Beliau tergolong generasi pertama yang memeluk islam
setelah Khadijah binti Khuwailid, sesaat setelah al-Qur’an memerintahkan nabi
untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya.
Sejak memeluk islam, beliau selalu
bersama dengan rasulullah saw. Taat kepadanya dan banyak menyaksikan proses
turunnya wahyu. Sebagai anak asuh yang dibesarkan di rumah nabi. Sejak kecilnya
beliau sangat disayangi sehingga tatkala tiba usia dewasa, beliau dinikahkan
dengan putri nabi yang bernama Fatimah. [14][16]
Ali
dikenal sangat zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan
dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai
khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan pada dirinya,
melainkan juga kepada putra-putrinya.
Ali adalah sahabat yang sangat
disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam ilmu pengetahuan, baik soal
hukum, rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan
praktis. Rasulullah sendiri memujinya sebagaimana sabdanya: Aku adalah
gudangnya ilmu dan Ali adalah kuncinya.
Disamping cerdas, Ali juga
dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan
hati lawan-lawannya. Beliau mempunyai sebilah pedang warisan dari rasululullah
saw.bernama “Zul Fiqar” Beliau turut serta pada hampir semua peperangan yang
terjadi pada masa rasulullah saw. dan selalu menjadi andalan di barisan
terdepan.
B. Ali ibn Abi Thalib: Khalifah, Perjuangan dan Tantangan.
Pada saat Abu Bakar menjadi
khalifah di usianya yang keenam puluh, Ali saat itu adalah sudah menjadi tokoh
muda yang energik yang baru berusia tiga puluh tahunan, namun orang-orang
disekitarnya selalu meminta pandangan-pandangannya dalam berbagai hal. Ali tetap
menyatakan kesetiaannya kepada ketiga khalifah dan mengakui abilitas dan
integritasnya. Ali memiliki kontribusi yang besar dalam usaha konsolidasi
kekuatan islam, yang sedang menghadapi berbagai tantangan sepeninggal
rasululullah saw. meskipun beliau dianggap salah seorang yang paling pantas
untuk menggantikan rasulullah, beliau tidak menampilkan diri untuk menjadi
kandidat khalifah. Beliau malah menolak tawaran yang diajukan oleh Abbas (paman
nabi), dan Abu Sofyan yang secara sukarela menyatakan dukungan dan kesetiaannya
pada Ali untuk menjadi khalifah. Beliau ditempatkan oleh banyak kalangan dalam
sederetan negarawan ulung yang ditandai dengan sikap legowo, setia mendukung
Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai khalifah.
Posisi terhormat Ali ibn Abi
Thalib tergambar dari kebijakan Umar bin Khattab atas pengangkatannya dalam
komisi Syura “Komisi Pemilih” di penghujung usianya. Komisi ini bertugas
memilih khalifah penerus tonggak kepemimpinan.
Pada masa pemerintahan Utsman
bin Affan Ali ibn Abi Thalib senantiasa memberi nasehat agar beliau bersikap
tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan yang mengatas
namakan dirinya, namun nasehat-nasehat tersebut tidak ditanggapi. Akibatnya,
orang-orang yang tidak setuju kepadanya melancarkan protes dan huru-hara.
Utsman bin Affan memimpin kekhalifahan selama 12 tahun namun para sejarawan
mencatat bahwa tidak seluruh masa kepemimpinannya meraih kesuksesan. Enam tahun
pertama merupakan masa pemerintahan yang baik enam tahun berikutnya masa
pemerintahan yang buruk. Paruh terakhir kepemimpinan khalifah Utsman menghadapi
banyak pemberontakan dan oposisi sebagai bentuk protes ummat islam atas
kebijakan pemerintahannya yang cenderung terlalu mengakomodir
kepentingan-kepentingan Bani Umayyah.[15][17]
Ketidak
puasan yang membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan pada tahun 35 H./656
M., ketika rombongan pemberontak dari Bashrah dan Mesir bergerak ke Madinah di
bawah kepemimpinan para Qurra(oposisi kaum shaleh. Dalam keadaan terdesak,
Utsman meminta bantuan kepada Ali. Ketika itu Ali berupaya memadamkan kekacauan
sekuat mungkin, tetapi keadaan sangat sulit. Ketika rumah Utsman dikepung oleh
kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein untuk
bersiaga di rumah Utsman dan melindunginya dari kerumunan orang. Akan tetapi
karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, mereka didesak dan didorong
ke samping oleh massa, sehingga nyawa khalifah Utsman tidak dapat diselamatkan.
Dalam suasana keruh menyusul
pembunuhan khalifah Utsman, pandangan orang mulai mengarah kepada Ali ibn Abi
Thalib. Banyak yang menyebutkan posisi dan keutamaan beliau. Kaum muslimin di
Madinah didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang dari Mesir, Basrah dan
Kufah, meminta kesediaan Ali untuk dibai’at menjadi khalifah. Mereka
beranggapan bahwa tidak ada lagi selain Ali yang patut menduduki kursi khalifah
setelah Utsman.
Pada saat itu, stabilitas
keamanan di kota Madinah menjadi rawan, disaat yang sama kebingungan melanda
kota, penduduk dihantui perasaan takut dan tidak tenang, hukum tidak berlaku,
para sahabat bertebaran di berbagai kota, apalagi pada waktu itu bertepatan
dengan musim haji, banyak diantara sahabat-sahabat terkemuka yang menunaikan
ibadah haji, diantaranya adalah Aisyah r.a. Kecuali beberapa diantaranya yang
tetap berada di Madinah di bawah pimpinan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam. Sedangkan mereka itu tidak semuanya menyokong Ali.Walaupun
demikian Ali tetap dibai’at sebagai
khalifah keempat oleh mayoritas sahabat yang ada di Madinah, termasuk
didalamnya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta para pemberontak.
Peristiwa pembai’atan ini terjadi pada
hari Jum’at,13 Dzul Hijjah 35 H./23 Juni 656 M di Mesjid Nabawi, seperti
pembai’atan para khalifah sebelumnya.
Ali sendiri sesungguhnya tidaklah terlalu
berambisi dengan jabatan itu, pada awalnya beliau menampik dengan mengatakan
bahwa Thalhah dan Zubairlah yang lebih cocok untuk menempati posisi
kekhalifahan tersebut. Hanya karena terus-menerus didesak, kemudian dukungan
yang datang makin gencar, akhirnya beliau menerima jabatan tersebut.
Seperti halnya ketiga khalifah sebelumnya,
sesaat setelah terpilih, khalifah Ali juga menyampaikan pidato sambutan
khalifah yang diawali dengan ucapan syukur dan puja-puji kepada Allah swt.
Diiringi dengan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, kemudian dilanjutkan:
“Hadirin saudaraku,
kalian telah membai’at saya sebagaimana yang telah kalian lakukan terhadap
khalifah-khalifah sebelum saya. Saya hanya boleh mengelak sebelum jatuh
pilihan, tetapi kalau pilihan telah dijatuhkan , maka saya tak dapat lagi
menolak. Imam atau pemimpin harus teguh dan rakyat mesti patuh. Bai’at terhadap
diri saya ini adalah bai’at yang rata dan umum. Barang siapa yang ingkar
darinya terpisahlah ia dari agama Islam.”
“Kaum muslimin
sekalian, sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan al-Qur’an yang didalamnya
terdapat petunjuk-petunjuk tentang kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang
baik niscaya kalian akan memperoleh petunjuk yang benar, dan jauhilah yang
jelek agar kalian terhindar dari akibat buruknya.”
Allah ta’ala
mengharamkan sesuatu dan ada pula yang dihalalkannya. Perhatikanlah
sungguh-sungguh dan kerjakanlah yang halal itu serta tinggalkanlah yang haram,
pasti kalian akan diantar ke surga. Taatilah perintah Allah dan janganlah
berbuat maksiat. Suatu pekerjaan hendaklah ditunaikan secara ikhlas. Seorang
muslim ialah mereka yang tidak menyakiti sesamanya, baik dengan lidah (kata)
maupun dengan anggota tubuhnya ( sikap dan perbuatan). Tidak boleh mengambil
harta bendanya tak juga boleh mencela perangainya, kecuali dengan alasan yang
benar.”
“Hendaklah kalian
saling berpacu dalam memperbanyak perbuatan kebajikan untuk kepentingan
masyarakat. Janganlah takut menghadapi kematian, karena bagaimanapun juga
kematian pasti bakal datang menjemput dimana saja. Jagalah ketakwaan kamu
kepada Allah swt. Dan jangan menentangnya. Hindarilah mengambil harta orang
lain, sebab kamu nanti akan ditanyai Allah apa saja yang kamu kerjakan, walau
urusan terhadap hewan sekalipun. Kalau melihat kebaikan hendaklah kalian
lakukan dan jika tampak olehnya kejahatan, maka jauhi dan tinggalkanlah.
a. Memecat para
pejabat yang diangkat oleh Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur lalu
menunjuk penggantinya.
b. Mengambil tanah yang telah
dibagikan Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya.
c. Memberikan
kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari bait al-mal, seperti yang
pernah dilakukan oleh Abu Bakar, pemberian dilakukan secara merata, tanpa
membedakan sahabat yang lebih dulu memeluk agama Islam atau yang belakangan.
d. Meninggalkan kota Madinah dan
menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.
1. Tantangan
dari Thalhah cs
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib diwarnai
dengan berbagai pemberontakan. Tidak berselang lama setelah mengambil
kebijakan-kebijakan, beliau menghadapi tantangan dari berbagai pihak diantaranya
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah. Mereka-mereka inilah yang
menuntut khalifah agar segera menghukum para pembunuh Utsman. Dan yang
sangat disayangkan, pihak-pihak yang
terlibat langsung menyaksikan terjadinya tragedi tersebut juga ikut menuntut.
Ada juga yang berpendapat bahwa pemberontakan itu dilatar
belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah,
akan tetapi mereka tidak mempunyai cukup dukungan
Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh
anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, Abdullah bin Zubair yang juga
berambisi menjadi khalifah. Dan juga, konon Aisyah dari dulu tidak akur dengan
Ali. Thalhah dan Zubair bertemu dengan Aisyah dalam perjalanannya ke Mekkah
dengan alasan pergi Haji.
Akan tetapi tuntutan mereka sangat sulit dikabulkan oleh
khalifah dengan alasan: pertama, karena tugas utama yang mendesak
dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu adalah
memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua,
menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah sebab khalifah Utsman tidak
dibunuh oleh satu orang saja, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab
yang secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.
Sementara itu, di Mekkah telah berkumpul para tokoh
oposisi yang menginginkan agar hukuman segera dijatuhkan kepada para pembunuh
utsman, gubernur-gubernur yang diangkat pada masa utsman yang berasal dari
Bashrah dan Yaman telah membawa semua dana yang mampu mereka bawa ke Mekkah
ketika mereka dinyatakan dipecat dari jabatannya oleh khalifah Ali. Lalu uang
tersebut mereka pergunakan untuk mempersenjatai kekuatan mereka yang
direncanakan untuk menghajar Bashrah, setelah itu mereka kemudian mencari
dukungan dari Aisyah.
Namun khalifah Ali mendengar rencana mereka itu, dengan
cepat beliau mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Bashrah. Sesampai
disana, khalifah tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan
mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding. Namun
tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai sehingga kontak senjata yang dahsyat
pun tidak dapat dielakkan lagi.
Peperangan yang terjadi pada tahun 36 H.di Khuraibah
(seputar kota Bashrah) terkenal dengan nama “Perang Unta” (jamal),
karena dalam peperangan itu Aisyah menunggangi unta. Peperangan tersebut
memakan banyak korban, kurang lebih 20.000 kaum muslimin gugur dalam peristiwa
perang tersebut. Peperangan itu berhasil dimenangkan oleh Khalifah. Thalhah dan
Zubair ikut terbunuh ketika hendak melarikan diri, sementara Aisyah berhasil
ditawan dan dikawal kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan sebagai Ummul
Mu’minin, sedangkan beliau tetap berada diatas untanya.
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah cs, pusat kekuasaan
Islam dipindahkan ke kota Kufah. Madinah Sejak saat itu berakhir menjadi ibu
kota kedaulatan Islam, dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam
disana.
2. Tantangan
dari Mu’awiyah
Seperti halnya Thalhah cs, kebijakan-kebijakan khalifah
Ali juga mengakibatkan timbulnya pemberontakan dari Mu’awiyah selaku gubernur
Damaskus(Syiria) yang diangkat oleh Utsman, Mu’awiyah enggan menyerahkan
jabatannya kepada pejabat baru. Namun sikap pembangkangan ini tidak ditindaki
dengan tegas oleh khalifah Ali, khalifah hanya mengirim surat undangan untuk
datang menghadap kepada khalifah dan sekaligus menyatakan kesetiaannya pada Ali
sebagai khalifah. Tetapi Mu’awiyah menolak hingga akhirnya berkobar lagi
pertempuran antar sesama muslim.
Khalifah Ali beserta pasukannya bergerak meninggalkan
Kufah menuju Syam.Mendengar berita kedatangan mereka, Mu’awiyah dan pasukannya
bersiap-siap menghadang diluar kota. Kedua pasukan bertemu di suatu tempat yang
bernama Siffin[17][19][22]. Yang kemudian menjadi nama atas perang tersebut.
Pada peperangan yang terjadi pada tanggal 1 shafar 37
H./657 M. di dekat sungai Eufrat tersebut, khalifah mengerahkan 50.000 pasukan.
Setelah perang berlangsung beberapa hari, pasukan Mu’awiyah terdesak dengan
gugurnya 7.000 pasukannya dan tanda-tanda kemenangan terlihat dipihak Khalifah
Ali.
Pada saat Mu’awiyah dan tentaranya terdesak Amr bin Ash
sebagai penasehat Mu’awiyah yang dikenal cerdik dan pandai berunding, meminta
agar Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf al-Qur’an di ujung
tombak sebagai isyarat berdamai dengan cara tahkim (arbitrase) dengan
demikian Mu’awiyah terhindar dari kekalahan total.
Mendengar tawaran itu, para imam yang berada di pihak
khalifah mendesak agar tawaran pihak Mu’awiyah itu diterima. Dengan demikian,
dicarilah jalan damai dengan mendakan hakam(perundingan damai). Perundingan
berlangsung pada bulan Ramadhan, dimana masing-masing pihak menunjuk wakil yang
akan menjadi hakim (juru penengah). Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr bin Ash
sedang dari pihak khalifah Ali ditunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[18][21][24] Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangant berbeda. Amr
bin Ash dikenal pandai berpolitik sementara Abu Musa al-Asy’ari adalah orang
yang lurus, rendah hati dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua
dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Sesuai dengan kesepakatan
sebelumnyata antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari
jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum
muslimin. Tetapi ketika tiba giliran Amr bin Ash, ia menyatakan persetujuannya atas
pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan
khalifah bagi Mu’awiyah. Ternyata Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang
dibuat bersama Abu Musa. Sepak terjangnya
dalam peristiwa ini merugikan pihak Mu’awiyah.Ali menolak keputusan tahkim
tersebut, dan tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah.
3. Tantangan
dari Khawarij
Sikap khalifah Ali yang menerima tawaran berdamai dari
pihak yang semula menyikong beliau dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah itu
kemudian keluar dari barisan dan bahkan berbalik memusuhinya. Oleh sebab itu
mereka dinamai kaum “Khawarij”(orang-orang yang keluar). Dalam keyakinan
merekan yang setuju ber-tahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka,
hanya tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Semboyan mereka adalah
“La Hukma Illa Billah” (tiada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan
pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan
lawan[19][22] [20][23]
Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa
dekat Kufah. Disana mereka mengangkat pemimpin sendiri, Syibis bin Rubi’it
al-Tamimi sebagai panglima angkatan pereang dan Abdullah bin Wahan al-Rasibi
sebagai pemimpin keagamaan. Setelah itu mereka segera menyusun kekuatan untuk
menggempur khalifah dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk
didalamnya Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.
Untuk
menghadapi situasi itu, khalifah terpaksa berangkat dengan tentaranya untuk
menghadapi Khawarij. Mula-mula khalifah berpidato mengajak mereka supaya taat
dan kembali ke barisannya. Akan tetapi mereka enggan dan menjawab:
“ Kami telah
menjadi kafir karena ber-tahkim kepada manusia oleh karena itu kami bertobat
kepada Allah dan kembali kepada Islam. Kini akuilah bahwa dirimu juga telah
menjadi kafir,karena itu hendaklah bertobat kepada Allah dan kembali kepada
Islam, sebagaimana yang telah kami lakukan.”
Khalifah Ali
mencela tuntutan mereka yang begitu rendah, karena itu beliau berkata kepada
mereka:
“Apakah
sesudah aku beriman,berhijrah dan berjihad bersama Rasulullah lalu aku mengakui
diriku menjadi kafir? Diriku tak pernah kembali kepada kekafiran sekejap pun
semenjak aku beriman kepada Allah.”
Kemudian
mereka menjawab:
“Kami tak
hendak berbicara denganmu selain ini. Hanya peranglah yang akan menentukan
antara kami dan kamu.”
Mendengar
pernyataan ini, khalifah segera mengatur pasukan-pasukannya dan bersiap-siap
untuk memerangi mereka. Posisi khalifah saat itu serba sulit. Di satu pihak, Beliau
ingin menghancurkan Mu’awiyah yang semakin kuat di Syam, sementara di pihak
lain kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera
ditumpas. Akhirnya khalifah mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan
Khawarij terlebih dahulu, kemudian menyerang Syam.
Pertempuran
sengit antara pasukan khalifah dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di
sebelah timur Baghdad) pada tahun 38 H. dan berakhir dengan kemenangan di pihak
khalifah. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan dalam waktu singkat, hanya
sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka Abdullah bin Wahab
al-Rasibi ikut terbunuh.
Sejak itu
kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam
di hati mereka, sehingga secara diam-diam mereka mereka merencanakan pembunuhan
terhadap tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat.[21][24] Tiga orang yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash dan
Mu’awiyah. Pelaksana tugas atas rencana pembunuhan tersebut terdiri dari tiga
orang pula, yaitu: Abd. Rahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh khalifah di
Kufah, Barak bin Abdillah al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di
Syam, dan Amr bin Abu Bakar al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash di
Mesir. Namun diantara mereka, hanya Abd.Rahman bin Muljam saja yang berhasil
menunaikan tugasnya. Ia menusuk khalifah Ali dengan pedang beracun ketika
beliau hendak shalat subuh di Mesjid Kufah. Dua hari kemudian khalifah Ali
menghembuskan nafas terakhirnya yaitu pada tanggal 19 Ramadhan 40 H./ 25
Januari 661 M. Dalam usia 63 tahun.
F.KRITIK
TERHADAP KEPEMIMPINAN KHULAFAUR ROSYIDIN
Menurut
kelompok kami kepemimpinan KHULAFAUR ROSYIDIN sangat lah baik dan apabila
pemerintah di orde baru ini menggunakan metode-metode ini akan sangat efektif
dalam pembangunan ataupun kedamaiannya.
Seharusnya
kita di orde ini meneladani dan mengamalkan metode serta perilaku yang di pakai
oleh terdahulu kita,jika di tanya apa kekurangan-kerungan kepemimpinan
khulafaurrosyidin ? kami sulit menjawab. Tetapi ada beberapa usaha yang di
lakukan kurang bisa di terima oleh masyarakat umum (non islam).
SIMPULAN
Pada pemerintahan masa khulafaur rasyidin kekuasaan
Abu Bakar bersifatsentral. Sedangkan khalifah Umar menduduki sistem
pemerintahan yangmenonjol, Ia juga dijuluki Peletak Dasar / Pembangunan Negara
Modern.Pemerintahan Usman mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapatahun pertama permerintahanya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan khalifahUmar. Pada separuh terakhir masa
pemerintahannya, muncul kekecewaan danketidakpuasan di kalangan mayarakat karena ia mulai
mengambil kebijakan yangberbeda dari sebelumnya. Usman mengangkat keluarganya
(Bani Umayah) padakedudukan yang tinggi.Melainkan masa Ali, ingin
bercita-cita mengembalikan sistempemerintahan yang sudah dilakukan oleh Usman untuk dirubah seperti masapemerintahan
Umar. Ali kemudian bertekad untuk mengganti semua gubernuryang tidak disenangi rakyat, tetapi
Mua’wiyah, gubenur syria, menolaknya. Olehkarenanya
khalifah Ali harus menghadapi kesulitan dengan Bani Ummayah
No comments:
Post a Comment